berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu."
(Ali Imran: 159)
SALAH satu ajaran akhlak yang paling utama bagi seorang muslim adalah sikap kasih sayangnya. Suatu hal yang tidak berlebihan, mengingat Islam merupakan agama yang bercucuran kasih sayang. Ajaran yang membebaskan manusia dari jeratan nafsu angkara perdamaian yang menyejukkan.keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu."
(Ali Imran: 159)
Sederet manusia keras telah menjadi paling utama gerakan jihad setelah mendapat sentuhan lembut Islam. Umar bin Khattab, singa padang pasir yang gemar menghunuskan pedang secara liar. Cahaya hidayah membuat hati kerasnya bernilai pahala di medan juang.
Khalid bin Walid, sebelum bersyahadat, adalah tokoh penting di balik kekalahannya kaum muslimin di Perang Uhud. Berikutnya, bukan hunusan senjata yang membuatnya
bertekuk lutut, kelembutan dakwah menjadikannya mukmin sejati. Dialah pedang Allah s.w.t (saifullah) yang menyiarkan Islam hingga membuka mata dunia.
Sebenarnya, Rasulullah s.a.w tidak memerlukan kilatan pedang untuk menundukkan orang ganas. Cukup menyiraminya dengan kasih sayang. Dan pesona kelembutan sanggup melelehkan hati yang membatu sekali pun.
Terkait dengan Ali-lmran: 159, A.YusufAli melukiskan bahawa kerana sifat Muhammad s.a.w yang begitu lemah lembut, menyebabkan semua orang sayang kepadanya dan inilah salah satu rahmat Allah s.w.t. Tak pernah ada yang lebih berharga baginya daripada sifat yang begitu lemah-lernbut, penuh kasih sayang dan kesabaran yang begitu besar menghadapi kelemahan manusia. Ini adaIah sifat yang sungguh agung, yang kemudian dan yang selalu demikian, menyebabkan banyak sekali orang yang terarik kepadanya.
Islam sangat memberi perhatian terhadap kecerdasan sosial umatnya. Di mana pun berada, kehadiran seorang muslim adalah penyejuk yang mendamaikan. Kedatangannya dinantikan dengan penuh harapan, kepergiannya ditunggu untukkembali. Bukankah agama mulia ini berkembang pesat berkat perilaku santun pemeluknya yang lekas menarik simpati berupa untaian indah akhlak dan kepedulian tinggi terhadap lingkungan.
Terbukti bahkan dalam peperangan, etika sosial sangat dijaga. Nilai kemanusiaan tetap dipelihara dalam bingkai kasib sayang. Tidak boleh merosakkan kemudahan awam, jangan mengganggu wanita, orang tua dan anak-anak, dilarang rnenebang tanaman, tidak membunuh lawan yang sudah menyerah dan berbagai perilaku indah lainnya. Sehingga musuh pun terpikat seraya berseru, “Betapa indah ajaran ini!”.
Andai dipakai cara-cara kekerasan, maka betapa banyak lahir barisan sakit hati yang rajin memupuk dendam. Mereka yang setia memelihara bara di dada dan sewaktu-waktu siap diledakkan. Pada keadaan dilema begini jelas keharmonian menjadi barang paling sulit digapai. Permusuhan akan menjadi sumbu malapetaka.
Sikap perjuangan yang sebenarnya tidak selainnya tercermin dari kegarangan menebas kegarangan batang leher musuh. Adakalanya kelembutan mengukir bukti atas sikap kesatria. Uthman sebagai khalifah boleh saja menyuruh pasukan tentera menumpaskan habis pemberontak yang mengepung rumahnya. Khalifah santun itu melarang memakai jurus kekerasan sesama pemeluk Islam. Ia justeru banyak menasihati penyerang, berusaha keras meluruskan kekeliruan prasangka mereka. Sampai akhirnya si pemimpin berbudi itu mati terbunuh.
Uthman syahid sekaligus meninggalkan kenangan terindah tentang sikap lembut seorang mukmin. Dia menghindari cara-cara kekerasan dan sentiasa membuka ruang dialog. Kematiannya tidak sia-sia demi menjaga keutuhan umat, Uthman menjadi korban demi keselamatan bersama yang lebih besar.
Secara lebih meluas, Islam mengajarkan penghargaan yang tinggi terhadap nilai kemanusiaan. Kematian sekali pun tidak menghalangi seseorang untuk dihormati. Atas nama kemanusiaan siapa pun berhak dihargai selayaknya manusia. Apa pun identitinya, warna kulit, ras, dan simbol-simbol duniawi yang melekat di pundaknya.
Suatu etika mulia dicontohkan oLeh Rasulullah berabad-abad yang tampau. Saat itu baginda beramah tamah dengan para sahabat setia. Tiba-tiba Muhammad s.a.w berdiri seiring lewatnya iring-iringan jenazah. Sikap penghormatan itu menyentakkan para sahabat. Raut kegusaran merona di wajah mereka. Sehingga muncul gugatan, “Wahai Rasulullah, bukankah itu iring-iringan jenazah orang Yahudi?” Rasulullah s.a.w. menjawab dengan pertanyaan menawan. “Bukankah dia juga manusia?”
Perilaku santun selalu berbalik kebaikan bagi pelakunya. Lantas, kebaikan apa yang boleh diperolehi dari mayat yang hendak dibenamkan dalam tanah? Ya, orang mati jelas tak mungkin memberi reaksi balik. Imbas positif tersebut datang dari orang-orang sekitar yang menyaksikan sanak keluarga, teman dan handai taulannya akan menyimpan kenangan manis. Betapa indah Islam dalam membina kasih sayang dan menghormati kemanusiaan.
Saat penaklukan kota Makkah (fathul Makah) orang-orang kafir dilanda ketakutan mendalam. Mereka yakin kaum muslimin akan mementaskan aksi balas dendam massa. Kerana rasa cemasnya, Shafwan bin Umayyah, musuh Islam yang sangat sadis bersiap-siap bunuh diri. Saudara sepupunya bernama Umair mengabarkan pada Nabi s.a.w. Baginda s.a.w. bersabda, “Susul dia, aku telah memaafkan.”
Sebagai tanda bukti, Rasulullah menyerahkan serbannya untuk diperlihatkan oleh Umar pada saudaranya. Hingga Shafwan membatal bunuh diri, kemudian menghadap seraya berkata, “Apabila kau memberi pengampunan untukku, maka berikan waktu selama dua bulan
aku masuk Islam.”
“Berfikirlah engkau selama empat bulan sebelum mengambil keputusan memeluk Islam,” jawab Rasulullah dengan bijaksananya. Akhirnya, belum satu bulan Shafwan datang menyatakan keimanan. Selanjutny dia berdiri gagah menjadi pembela agama tauhid. Kasih sayang itu telah menjinakkan jiwa yang paling liar sekalipun. Allah s.w.t Maha Besar. Firman Allah s.w.t., “Kamu senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah dan biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (At-Maidab: 13)
Hanya saja, sejarah kemunafikan yang panjang telah menyaksikan babak belurnya sifat-sifat kemanusiaan. Rasa kasih sayang sudah tercabut dan nurani berganti dengan egoisme sempit yang menerkam kanan kiri umpama masyarakat serigala yang berpegang pada prinsip membunuh, dimana antara sesama manusia saling memangsa.
Sikap buruk sosial tergambar ketika anda mengibarkan bendera kegemilangan dengan terlebih dahulu menumbangkan bendera yang lain. Anda bersorak dipuncak kemenangan setelah menjungkalkan teman kejurang kehancuran. Anda bersinar terang dan terlebih dahulu memadamkan lampu sahabat sendiri. Anda tersenyum riang gembira dengan puja-puji saat orang kanan kiri berurai air mata darah.
Apalagi dewasa ini, aksi keganasan cara baru semakin ketara dalam wujud baru yang kalah mengerikan. Perangai pecah amanah dana sosial setara dengan mengunyah jasad saudara sebangsa yang mati kelaparan. Aksi membeberkan kejelekkan rakan sendiri setara dengan memakan daging bangkainya. Wabah itu membuat pelaku tergamak memangsa saudaranya, walaupun seiman dan seakidah. Lantas ke mana melayangnya kasih sayang itu?
Barangkali kita melihat kemungkaran dilakukan oleh saudara seagama, bukan bererti cara main kayu di dahulukan berbanding nasihat takwa. Setidaknya kekhilafannya tidak akan menyamai kekejian Firaun yang mengaku diri sebagai Tuhan. Bahkan terhadap Finaun yang terkutuk itu, Allah s.w.t masih menyuruh Musa dan Harun mendakwahi dengan tauladan dan ucapan kelembutan.
Kita sebagai bangsa timur mewarisi kelembutan budaya yang menakjubkan. Hanya saja ujian sejarah berupa krisis multi dimensi telah mencarik-carik keperibadian yang berharga itu. Tiba-tiba kita menjadi bangsa pemarah yang menghadapi setiap masalah dengan luapan amarah.
Gana-gara sejumlah wang, nyawa boleh melayang. Perbezaan pendapat tak boleh tagi diterima lapang dada, yang keluar malahan caci maki dan perilaku kekerasan. Rasa saling curiga membuat otak jadi beku setelah emosi lekas meledak. Ruangan musyawarah malah menjadi tempat pengadilan jalanan, selepas bersolat jemaah kita bersalam ukhwah, malamnya ditempat kerja kita berpacu dalam aroma nafsu.
Ibnu Khaldun menyatakan secara tabiatnya manusia adalah makhluk berperadaban yang berjiwa sosial. Dengan sendirinya, manusia jelas saling memerlukan satu sama lain. Dan, sikap kasib sayang merupakan salah satu bentuk dari kecerdasan sosial. Terkait dengan itu, konsep yang terindah bahawa kitalah yang memerlukan kehadiran saudara, bukan sebaliknya. Wujud kecerdasan sosial tersebut tercermin dari komitmen; banyak sahabat masih belum cukup, satu musuh sudah terlalu banyak.
Allah s.w.t telah menurunkan kehalusan rasa di hati manusia. Sebuas apa pun orang, ia letap punya getar-getar nuraninya. Cuma kepekaan tersebut menjadi mengecut disebabkan kurangnya kepedulian. Egoisme sempit serta ketamakan nafsu mencederai putihnya hati. Maka merugilah mereka yang kehilangan anugerah kasih sayang.
Dalam hadisnya, secara tegas Rasulullah s.a.w menyatakan, “Ada dua jenis manusia yang Allah s.w.t tidak akan me!ihatnya di hari kiamat. Pertama ialah onang yang memutuskan tali kasih sayang dan yang kedua adalah mereka yang jahat kepada tetangganya.” (HR Dailami)
Kasih sayang mampu menunjukkan banyak keajaiban, merapatkan hati yang renggang, menyatukan jiwa yang terbelah, serta melembutkan kekasaran. Masyarakat berperadaban selalu memilih jalan kasih sayang, apalagi terhadap saudara seiman. Tidak cukup menjalin kehangatan dengan Tuhan semata, sebab menjalin kasih sayang dengan makhlukNya juga bernilai ibadah.
( Sumber : Majalah Hidayah )
0 ulasan:
Catat Ulasan